Selasa pagi pernah bertanya,
Bagaimana kabarmu?
Lembut, lamban menyerupai kepak sayap kelelawar yang berpura-pura membenci matahari
Melebihi lentur angin yang mengajari pohon-pohon
menari
Selasa pagi juga bertanya,
Kemana perginya pelukan yang pernah kaupuja dengan delapan ratus bahasa?
Kecup yang kau katakan pandai menidurkan rembulan
luka karena gerhana,
Atau usap paling menenangkan bagi angsa yang dijangkiti kecewa karena arus telaga
Kasih, aku gemetar mengingat suaramu yang tak lagi bisa kudengar
Memandang punggung yang perlahan menghilang
Dan rindu, telah menjadi hukuman atas dosa kecil yang hanya bisa diampuni oleh pertemuan
Seketika aku menggigil pada suhu terendah
Sementara hangatmu, layaknya punggung lembah yang disanjung ribuan kabut-kabut
Degupku parau.
Diremehkan garau angin dini hari
Diacuhkan sepi yang lebih sunyi dari denyut nadiku
sendiri
Perihal apakah yang membuatmu setabah ini menanti? Tanya Selasa pagi
Sebab dekapmu murni, bukan hangat buatan yang
kumenangkan dari meja judi