Seluruhmu dalam kata











Satu hari dengan pagi yang tak berjudul, aku tak ingin berkhianat atas sajak yang akan kutulis. 
Seperti keindahan, yang hidup atas paru-paru namamu. 

Kuawali dari jelitamu, yang kuangankan mimbar bagi 
segala jenis kekaguman. 
Nyalang matamu ialah terik, mengamini doa untuk 
mengawali segala kehidupan. 
Rambutmu ribuan serat tanpa ruas. Pantulan sinar rembulan imitasi, anak panah menuju 
pulang yang kupercayai. 

Hembus napasmu, kehangatan yang setia memeluk daun telingaku; yang merupakan keranjang, buah-buah ranum yang jatuh dari bibirmu. 
Keningmu, tenang permukaan telaga. Melayarkan mimpi bibirku yang sekoci, menuju pulau sunyi yang tak memiliki pagi. 

Bulu matamu atap dari istana yang megah, sandaran tubuh untuk berteduh, dari terik hingga hujan yang dijatuhkan semesta. 
Kedipanmu hening damai tanpa suara, santun langkah kaki jenjang bidadari yang mengitari purnama. 
Bibirmu debar debur laut, pembasuh paling riang, 
penerbang sukma menuju temaram surga. 

Lalu aku mengingat pelukmu; hangat muara jutaan 
cuaca, yang tak cukup kutulis dengan majas apa saja. 

Bahkan pundakmu, bantal terbaik untuk kepalaku. 
Padang pasir yang tak punya akhir dijelajah musafir — berparas serupa Yusuf. 
Sidik jarimu adalah arsiran acak di atas debu. Kujaga serupa kain beledu, rebah lembut damai kulit pipiku. 

Lenganmu samudera yang membentang. 
Tempat segala anak-anak rindu terdampar, penenggelam paling tenang, untukku yang tak pandai akan renang. 
Jemarimu runcing belati berkuku ungu, mengerat 
pergelanganku yang kaktus berdarah salju. 

Kini, labirin-labirin hatiku, telah ramai menanti damai. 

Kemarilah, bingkiskan sekotak pelukan berpita merah 
muda. 
Jika kau mempercayai kisah ini, akan kusiapkan seluruh hangat yang kumiliki. 

Semoga saja, Tuhan selalu berbaik hati; melibatkan kita pada takdir yang sama.