Undur diri

Akhirnya kata-kata menuntun kita menemukan pagi
Puas kita bermain diperandasansi, tiba saatnya aku undur diri.
Memugar prasangka berlumut, meniupkan wangi dari gumaman doa-doa baik, memberinya sedepa jarak untuk kita yang masih setia digenggam oleh takdir.

Aku mencintaimu dengan rasa takut yang tak mampu aku tulis.
cukuplah kita menjadi sebait kata semoga yang lupa, bahagia penuh umpama, atau sepasang barangkali yang belum tentu diamini.

 Saling kejar, hanya membuat kita hilang nalar.

Cinta bukanlah kokoh tembok kota yang setia dikencingi anjing, atau ranting-ranting kering yang tabah menghadapi musim. 
Ia adalah sakit yang tak kunjung sembuh, atau justru, kecewa yang berulang kali kambuh.

Segala yang datang dan pergi, akan terus berlari meski dengan sepatu yang tak bertali. 
sebelum senja dan malam beralih peran, dengan mata yang mulai basah, aku akan pulang.

Seperti ada yang melubangi dada, kata dan tawa yang biasa meramaikan cuaca dimalam hari, telah kita paksa untuk menyerahkan diri. sederet kalimat yang nyaris beku, akan menjadi jawaban dari pertanyaan hening bisu yang belum tentu datang disetiap waktu. 

Kelak, ketika musim penghujan tiba, akan kubuatkan kau puisi yang tak melibatkan kata-kata susah, agar kau bisa membacanya sambil berselimut. Mengangankan pelukan dari belakang yang berulang kali aku janjikan. 


Berkhayal melihat senja, melihat lampu kota yang mulai menyala, atau berbincang tentang apa saja yang belum pernah kita bicarakan sebelumnya.

Kita kembali saja pada apa yang pernah kita tulis dalam diam. 
Ternyata, waktu tak terlalu sabar untuk menghidangi kita sebuah pelukan.

Seperti lirih bisikan gerimis yang meyamarkan jejak. 
Jika musim-musim terdepan tak memberikanku pilihan, aku-pun bersiap diri menjadi prihal yang layak kau lupakan.