Siapakah R? Atau lebih mudah, pertanyaan nya kuubah saja. Apakah R? R adalah daun pintu yang bergerak terbuka. Suara deritnya, getir. Seperti wangi hujan pertama yang kau nikmati bersama senja sambil mengenang kepergian kekasih terbaik.
R terbentuk dari pikiran-pikiran licik, rindu yang bernasib buruk, juga percakapan-percakapan panjang untuk membuat indah jelang-jelang tidur. R merupakan panggung bagi senja. R ialah bagian dari sore, ia tinggal ditengah kata itu.
Lantas, siapakah P? Apakah ia seorang penyair, penyanyi, atau sejenis alat musik yang disebut perkusi? Bukan, semua perkiraan salah. P tak lebih hanya selembar kertas kosong, lalu R menulisinya dengan kalimat-kalimat sederhana dengan isi pikirannya yang seluas jagat raya.
Hingga akhirnya P bisa terbaca lebih indah dan megah. Huruf P tak hanya terbaca sebagai p. Ia bisa menjadi pantai, pelangi, pemandangan, permadani, perpustakaan, pagi, prosa, atau puisi.
Akhirnya P dan R saling jatuh cinta.
Tapi, menurut berita yang kubaca dari beberapa lembar puisi, takdir tak mengizinkan mereka bersatu. Sebab, bentuk mereka hampir sama.
Tapi, menurut berita yang kubaca dari beberapa lembar puisi, takdir tak mengizinkan mereka bersatu. Sebab, bentuk mereka hampir sama.
P memilih dirinya menjadi pergi dan pudar. P memilih kembali menjadi kertas kosong, sementara R tak tau ia kemana.
Karena R memiliki dua kaki, P berharap R bisa terus berjalan. Dalam setiap doanya, P memohon ada satu kata atau sebuah nama yang meminang R untuk menjadi pendamping.
R tak bisa sendirian. Ia selalu gagal di eja lidah-lidah cadel. Sementara P merelakan dirinya menjadi konsonan yang lumpuh, inisial yang bisu, silabis yang tak bergerak.
Sebab P, ialah R yang kehilangan satu kaki berbentuk garis kecil miring ke bawah.