Penghujung september

 

 

 

Aku masih berusaha lupa, warna apa yang paling kau sukai. Kulihat, matamu kian coklat saja. Kulitmu semakin putih, tinggi dan semakin berkarakter. Hidungmu masih saja berhasil mengalihkan seisi dunia. Dan bibir jambumu itu. Adakah yang terlewat? Ah, iya alismu yang seadanya tetap lebih terlihat menarik dimata. 

Menuju lupa, aku hanya ingin mengingat segalanya sekali saja lagi. Menuju selain kau, dengan segala yang tertinggal aku ingin meninggalkan apapun itu pada yang semestinya. 

Seperti katamu; tidak ada maksud lain, hanya merubah yang salah. Kupikir sudah saatnya menganggap kekonyolan yang terus berlanjut ini sebagai suatu kesalahan, fatal. 

Karena kau tak benar-benar ada. Tidak nyata. Kita sama, dapat bersama-sama tidak untuk hidup bersama. 

Kurasa itu semua sudah lebih dari jelas. Aku tak ingin lagi menolak lupa. Karena lupamu adalah luka yang nyata.

Angan tentang kepulanganmu

 

 

Perihal rindu. Kemanapun aku pergi, tak ada tempat selain hatimu. Kepada engkau yang tak juga kering, tidak pun hilang, ada bagian hangat yang terus mencarimu. Engkau ingin kujumpai serupa apa, kasih? 


Angan tentang kepulanganmu semakin duka. Merawat lukaku yang kian terbuka. Ketika membuka mata, langkahmulah yang kembali terbaca. 


Pada kesempatan aku menabung harap. Menatapmu lamat-lamat. Aku dibalik lutut, engkau dijaga rusuk. 
Di persimpangan, kau tak sengaja mendatangiku. Melihatku sekali tajam. Lalu berlalu tanpa dahulu. Tanpa tau. Tanpa ingin tau. 

Di kesempatan kesekian, aku sibuk bercerita di depan meja makan. Ada mie aceh kesukaanmu, dan air tebu kesukaanku. Mereka berbincang membicarakan aku.  Namun mereka tetap bersikap seolah mendengarkan aku. Kau duduk di ujung sana, berhadapan denganku. Aku tak bisa kemana-mana. Engkau hanya diam. Tapi aku tak bisa diam. Kuceritakan pada mereka perihal yang selama ini tak aku mengerti. Mereka melihatmu. Lalu terbahak didepan hidungku. 


Aku beranjak. Bukan niat ingin menyita sedikit saja perhatianmu. Tapi mereka semakin terbahak. Tak terlalu kuhiraukan. Bahkan kau tak sedetikpun merasakan. Aku kembali bercerita. Bersama ingatan, kami sepakat. Meniadakanmu, walau pahit.