Tidak berarti "iya.




Malam ini malam minggu,,, wajar saja jika diluar terlihat sangat ramai. Meski hujan yang turun lumayan deras, tapi tak mengurungkan niat para pasangan sejoli untuk menikmati satnite. "Malam minggu dengan berteman hujan itu Romantis" gumam mereka.

Aku tidak sedang menikmati malam minggu, saturday night, daily nigth, malam kasmaran, atau apalah sebutannya. Bagiku, setiap malam itu sama. Hanya malam jum'at yang berbeda. Untuk keyakinanku, malam jum'at dan hari jum'at itu adalah hari yang penuh berkah. Bahkan, mereka yang sudah meninggalpun masih bisa menikmati berkah jum'at.

Malam ini, aku menunaikan janji bertemu seseorang. Seseorang yang membuat hari-hariku yang dulu penuh warna, berubah hitam pekat. Dulu, aku pernah berada difase bahagia dan jatuh cinta setengah mati, sebelum semuanya menjadi terbalik.

****

Aku menunggunya,, sudah hampir setengah jam dari janji bertemu itu.
Harusnya aku bisa dengan tegas menolaknya, atau mengabaikan janji yang tidak bisa kupenuhi.
Tapi, aku hanya ingin kejelasan. Penjelasan atas luka yang pernah aku nikmati sendiri. Kejelasan atas lukisan pilu yang digambar dengan tanpa nurani.

Pria ini, (yang tengah ku nanti siluet tubuhnya) pernah berjanji memberikan sepotong senja untukku diwaktu cucu kami telah dewasa.
Pria ini, (yang senyum anehnya amat kurindu beberapa tahun ini) pernah mengenalkanku pada pengemis kecil yang luar biasa (mungkin akan ku ceritakan lain kali)
Pria ini, (yang memiliki suara bariton) pernah mengajakku mendaki puncak Himalaya (lewat imajinasi, tentunya)

Ahh,, andai saja kalian tahu. Dia pria yang memiliki peran yang luar biasa (Dulu).

Hanya dia, yang berani mengajakku berkencan. Pertama kali. Mengingat ayahku begitu Protektif, butuh adu argumen berjam-jam agar izin pergi itu didapat. Dan, ah tuhan,,, hanya dia yang bisa meluluhkan senyum garang ayahku. Dengan suara khas jawa, ia meyakinkan ayahku. "Om bisa percaya pada saya,, Nina akan baik-baik saja bersama saya.". Kalian tahu respon ayahku? Beliau malah tertawa, dan menepuk pundak laki-laki itu.
Itulah kencan pertamaku. Dari dua puluh tiga tahun yang sudah kujalani, itu malam minggu pertama aku merasa sangat bahagia. Yang biasa hanya bisa menikmati bintang gemintang lewat senyum jendela, kini aku bisa menikmati langsung. Berdiri lepas, diatas butiran halus dipinggir pantai.

Malam itu, ia menggodaku. Menghujamkan jutaan kata gombal yang membuat pipiku memanas. Aku hanya bisa mengatupkan bibir dengan semua tingkahnya. Bukan karna bosan, tapi karna aku begitu bahagia. Jantungku terasa akan meletus.

Malam itu, ia membisikkan kata rindu berulang kali.
Tapi, dia adalah pria yang sangat menjunjung tinggi kehormatan dan keyakinan. Ia tak pernah sekalipun merangkul apa lagi berbuat yang tidak-tidak. Sungguh lelaki idaman.

Malam itu, ia mengajakku pergi ke Kapuas (masih lewat imajinasi). Ia mengajakku naik sepit (alat transportasi sejenis speedboat yang hanya menggunakan mesin motor penggerak). Diatas sepit khayalan itu, ia melantunkan tembang lawas. "Mengapa kau termenung, oh adik berhati bingung"-Saroja. Lagi-lagi aku hanya gelagapan. Dia mampu membuatku melambung sangat tinggi. Membuatku merasa begitu sempurna.

****

Hari itu,,,
Ia tiba-tiba menhilang, tanpa kabar, tak berkabar.
Ponselnya selalu diluar jangkauan, non-aktif. Berhari-hari, Berminggu-minggu, Berbulan-bulan.
Satu tahun pertama,, aku hanya menghabiskan waktu didepan jendela. Menikmati panas, hujan, badai.
Kuliahku berantakan, kehidupanku buram. Ayah hanya mampu menatap prihatin sambil sesekali mengusap kepalaku lembut. Ibu lebih tersayat, hampir setiap hari ia meneteskan air mata. Fisikku hampir tak lagi dikenali. Bobotku berkurang, berkilo-kilo. Benar-benar tahun yang melelahkan.

Tahun kedua,,,
Semua membaik, aku mulai membuka diri. Mulai melanjutkan study-ku yang tertinggal, mulai bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Semua sudah hampir menjadi normal.

*****

Semalam, dia mengirimkan Email. Meminta bertemu ditempat ini. Salah satu cafe diLitlle Netherland. Cafe hangat inilah, awal pertama cerita dimulai, dan akan menjadi tempat peng-usai semua cerita.

Pukul sembilan,, hujan masih terjaga, dan dia belum datang.
Akankah dia datang? Entahlah,,, yang jelas, aku sudah siap dengan semua yang akan terjadi. Bahkan jika dia tidak datang sekalipun, aku akan tetap pulang dengan tersenyum, menikmati hujan malam ini lebih dari membahagiakan.

Surat cinta untuk tuan #Rindu Aletha

                                                                                                              Yogyakarta.23 Maret 2014.

Kepada pemilik rindu di kepalaku

Sampai hari ini aku masih tak tahu apa yang hendak kusampaikan untuk membalas suratmu. Mungkin kau benar, bahwa hatimu jauh lebih indah daripada surat yang kau tuliskan. Tapi ketahuilah, aku telah lama mendekap hatimu, saat masa sekolah kita dulu, jauh sebelum kau menyadarinya. Aku suka terjebak di dalamnya, mendengar detak jantungmu berdegup pelan hingga akhirnya terdengar namaku di antaranya.

Tenanglah, tuan,, saat pertemuan sudah dekat. Tak lama lagi kita akan melompati waktu dan memotong jarak, melipat-lipat sepi dan menyimpannya ke dalam lemari. Jangan racuni kehangatan kita dengan godaan dunia maya. Selalunya kita begini, menikmati guritan pena dari masing-masing kita, bukan huruf-huruf mati tak berarti dari tuts-tuts alat komunikasi. Biarkan rindu kita saling mengenal kembali setelah lama meraba dan merasa. Sedang hati, ia akan menemukan rumahnya kembali.

Tentang beribu warna yang tenggelam di kelopak mataku, pun melekat di punggungmu, ialah rindu yang melukis kamu aku dalam satu waktu. Mungkin tak terbaca, mungkin tak kentara, tapi perlahan-lahan ia menuliskan cerita tentang bocah-bocah yang berlarian di sekitar pekarangan rumah kita.

Syahadatmu,, akan kusatukan dengan syahadatku. Biar ia menyatu dalam lafaz doa yang kulantunkan saat bermunajat kepada Pemilik Raga. Semoga keabadian yang tak pernah ada akan menjadi nyata.

Aku mencintaimu, selalu.
Waktu yang kau pinta kedatangannya.

untukmu, kuning.






Dear Something Yellow...




Hai Kuning! Selamat pagi, ataukah selamat siang atau mungkin juga selamat sore? Pastinya bukan selamat malam, karena bulan dan bintang memberitahuku kalaulah kamu nggak pernah muncul saat mereka bekerja. Dan pastinya juga bukan selamat malam, karena para burung hantu, kelelawar bahkan lampu-lampu kota berkata padaku, kamu nggak pernah menari bersama mereka di malam hari.


Hai Kuning! Walau aku dan kamu berada dalam satu kompleks yang bernama Pelangi, tapi rumahku dan rumahmu terpisah jauh, terhalangkan rumah sang Hijau, Biru dan Nila. Sehingga aku jarang memiliki nyali untuk menyapamu, apalagi mengajakmu turun bermain bersama Sang Hujan dan teman-temannya.


Hai Kuning! Walaupun aku dan kamu menginjak satu sekolah yang sama, sekolah Lingkaran Warna, bangkumu dan bangkuku sebenarnya cukup dekat, tapi sangat bersebrangan dan bertolak belakang. Ingin berbincang denganmu saja sungguh sulit, seakan aku dan kamu memang tak pernah punya takdir untuk bersatu.


Hai Kuning! Tapi sadarkah kamu kalau aku ada? Mampukah kamu melihat setiap aku mengintipmu malu-malu di antara rerumputan tempat kita piknik bersama? Sanggupkah kamu menangkap setiap curi-curi pandang yang aku lontarkan saat kita berdarmawisata di antara gedung-gedung tua milik Sang Bumi? Atau tahukah kamu, ketika wajahku mulai bersemu ketika kamu berdansa-dansa bersama Sang Matahari?


Ya, aku malu Kuning.

Kamu yang sungguh bersinar? Apakah akan melihat seorang aku yang sangat redup? Yang selalu berjalan paling terakhir bersama para Spektrum Warna? Yang bahkan sering ditinggalkan oleh Sang Awan Putih, kendaraan sehari-hari kita untuk pergi ke sekolah. Yang sering tak terlihat saat berkumpul menjadi Warna Pelangi. Yang tak pernah sanggup memiliki kesempatan untuk bersamamu, hanya berdua saja, karena kita berbeda, karena kita kontras, dan karena kita bertolak-belakang.


Mungkin tidak ya surat ini sampai ke tanganmu Kuning? Ataukah hanyut begitu saja ditelan angin kencang yang sedang iseng bermain-main kemari?


Baiklah Kuning.

Selamat pagi, selamat siang dan selamat sore.

Semoga Pak Pos Angin Sepoi-sepoi tak salah alamat menyampaikan surat yang tak seberapa ini.


by : Something Purple.

Aku lilin dan sebuah cerita.

 
 
Aku, ya aku adalah sebuah lilin. Aku adalah sebuah lilin dengan bentuk yang entahlah itu sempurna atau tidak. Lilin biasa saja yang berwarna putih dan dapat membantu para-para makhluk lainnya untuk menerangi kegelapan.

Aku yang pada jaman kejayaannya sangat disanjung-sanjung, dipuji, terbiasa dengan panggilan yang indah, sangat berguna bagi kehidupan di dunia ini. Tanpa ada aku, mereka tidak akan bisa hidup.

Namun aku yang masa kini sudah mulai dilupakan, dan sudah tidak pernah bercahaya kembali. Entahlah karena bentukku yang membosankan ataukah rupaku yang putih pucat tak terawat. Mereka lebih berpaling melihat ke arah para lampu yang bersinar lebih manis dan memiliki bentuk yang lebih cantik. Jelas aku kalah oleh mereka. Aku tak pernah dan tak bisa mengharapkan pujian yang lebih. Sama sekali hilang ambisiku untuk mendapatkan semua itu.

Namun, datanglah dia, seorang makhluk aneh yang menyukai diriku, yang mungkin kukira dia menyukaiku apa adanya. Dia bilang dia menyukaiku karena aku sederhana. Karena aku berwarna putih, karena aku memiliki bentuk yang indah dan klasik - menurutnya. Aku yang sudah jatuh, sangat jatuh selama belasan tahun ini menjadi bangkit kembali karena dia. Dia yang selalu memujiku tanpa bosannya.

Rasa kepemilikanku pada sang makhluk aneh ini semakin menjadi-jadi. Aku tidak ingin dia pergi. Aku tidak ingin dia melihat ke arah makhluk lain lagi, ataupun barang lain lagi. Aku sangat percaya kepada ucapannya, dan pujiannya yang tampak tulus serta mata yang berbinar.

Rasa kepemilikanku yang seharusnya tak begini. Mana ada lilin posesif terhadap pemiliknya? Hal ini sungguh jarang terjadi.

Rasa ketakutanku berujung kepada suatu malam, dimana dia mulai memperhatikan sejenisku yang lebih menarik lagi bentuknya. Perlu diketahui, telah banyak lilin yang beredar di sekelilingku, lilin lain yang jauh lebih menarik tentu baginya. Seharusnya diriku yang benar-benar tidak ada apa-apanya ini tidak usah terlalu berharap lebih pada sesosok makhluk aneh yang tiap hari memujiku itu. Yes, because I am nothing at all, nothing to compare.

Kemudian hal yang kutakutkan terjadi, dia memegang dan merasa tertarik dengan lilin lain yang berwarna putih bersih, dengan bentuk yang lebih indah, dan lebih cantik pastinya. Sedangkan hari itu, aku sengaja mengecat diriku agak berwarna dengan alasan untuk mencuri perhatian sang makhluk aneh itu. Dan, dia menarik lilin itu, dan matanya seolah berkata “dia lebih cantik dari kamu, hey lilin yang di seberang sana, aku menyukai lilin yang putih, sedang kamu hari ini tidak sedang berwarna putih”, dan untuk sesaat sang makhluk aneh itu memperhatikan lilin di pertokoan baru di ujung sana, dan aku merasa tercampakkan.

Ah! Aku seperti makhluk bodoh! Aku terlalu sombong karena dia terlalu sering memujaku. Aku terlalu menganggap di matanya akulah lilin yang paling indah, dan paling cantik. Padahal sebenarnya aku bukan apa apa. Sekali lagi, aku hanya lilin bekas tak terpakai yang ia punya. Untuk apa aku berharap lebih, padahal aku bukan apa-apa? Sudah cukup senang aku dengan perasaannya yang menyukaiku pun, tetapi aku malah berharap lebih untuk menjadi yang nomor satu dimatanya.

Dan akupun terbakar, mulai membakar diri. Lebih baik aku meleleh dengan ini. Lebih baik aku mencair, melebur dan  menguap

Berdua saja di dunia ambang batas.

Ketika itu, kita berdua saja. Di atas kita ada langit. Di bawah kita ada rumput. Ah, bukan. Batu. Atau entah apa itu namanya yang kau pakai untuk duduk, dan kupakai untuk berjongkok. Di belakangmu ada ranting dan gedung-gedung tinggi yang di belakangnya lagi ada awan. Kita ada di bawah. Kau bilang kita di atas. Akhirnya aku mengalah. Kita ada di bawah yang di atas, kubilang padamu.
Ada asap putih keluar dari mulutmu. Aku tak suka tapi aku diam-diam saja. Karena mengerti bahwa kau tak akan peduli aku suka atau tidak. Kita saat itu menatap angkasa yang biru. Kurasa kita juga saling melihat satu sama lain. Atau melihat namun sekedar melihat saja tanpa perlu difikirkan, dibawa ke otak, apalagi dibawa ke hati.
Kamu bercerita. Aku bernyanyi. Kita bersama-sama mendengar. Tentu saja bergantian.
Kita sama-sama bergembira karena hari itu hari yang ramah dan baik hati. Mataharinya hangat dan anginnya lembut saja. Apalagi ada hijaunya. Dari pohon dan rumput, maksudku. Juga ada birunya. Dari langit dan bajumu. Kurasa juga ada merahnya. Ada merah jambunya. Ada nila dan ungunya. Maksudku, bukankah dinding di belakangnya belakang kita itu putih warnanya. Dan putih adalah segala warna yang pecah lalu melebur jadi satu.
Kemudian kamu diam saja. Aku duduk bersila didepanmu. Kamu melihat ke kananmu, aku melihat ke dalam matamu. Yang kita rasakan sama, damai. Aku lalu mengambil kacamatamu, kemudian memakainya. Kamu tertawa karena aku mengeluh tentang pandanganku yang jadi seperti miring jatuh kebawah. Dan tempat aku berpijak terasa lebih dekat sehingga aku merasa sangat cebol. Hanya beberapa puluh senti dari tanah. Ini menggelikan sekaligus memusingkan.
Kita kemudian diam lagi. Aku merasa nyaman. Seperti atmosfir yang ada kamu ini memelukku. Meski sebenarnya tanganmu yang satu sedang menjepit sebatang rokok, dan sebelahnya lagi terletak santai diatas kakimu yang juga sedang duduk bersila. Apakah kamu merasa nyaman? Apa kamu ingin dipeluk?
“Aku laper. Pengen indomi,” aku menggigiti batang rumput yang sebelumnya kucabut dari ibunya.
“Nggak baik makan indomi terus,” mulutmu mengeluarkan asap putih yang kubenci.
“Biarin. Enak sih,”
“Temenku ada yang meninggal gara-gara makan indomi melulu,”
“Kalo udah ajalnya nggak ngapa-ngapain juga pasti mati,”
“Kamu pernah perhatiin nggak telur ayam yang diceplok langsung dalam air mendidih? Bagian putihnya melambai-lambai anggun, gemulai, karena ditiup uap air. Kamu biasanya masak indomi pake telor kan?,”
“Iya. Dia kayak lagi nari, ya. Cantik,”
“Kayak kamu,”
“Nggak usah bilang aku cantik kalo kamu nggak bisa sama aku,”
“…..kita janji kan nggak bakal bahas ini lagi?,”
Aku tak menjawab. Hanya beranjak ke rerumputan. Berbaring diatasnya. Kau menyusulku, ikut menghadap langit bersamaku.
“Kenapa ya, indomi goreng kalo dimasak pake kuah jadinya nggak enak?,”
“Kenapa bahas indomi lagi, sih?,”
“Tadi kamu larang aku bahas yang itu. Ya mending bahas indomi,”
“Biar kamu jadi gak suka makan indomi. Hidup lebih lama. Nggak ninggalin aku,”
Aku melengos. Kemudian bangkit untuk duduk.
“Aku ninggalin kamu juga kamu nggak bakal kenapa napa kali…”
“……”
“Kamu pernah mikir nggak, jatuh cinta itu sebenernya salah satu kebodohan manusia. Pas kita memutuskan jatuh cinta sebenernya kita berkomitmen untuk sakit,”
“Jatuh….,”
“Sebahagia apapun kita saat jatuh cinta, sebenarnya kita sedang sakit. Pasangan fungsinya sebagai obat bius. Kamu sebenarnya sedang luka, tapi kamu nggak sadar…..,”
“Hingga kemudian orang itu pergi dan obat biusmu tak lagi ada. Kemudian kamu merasa perih dan sakit yang mengganda,”
“Yap. Itu akumulasi dari semuanya. Bahkan yang manis itupun adalah luka,”
“Mungkin pahit dari awal akan terasa lebih manis, ya?,”
“Mungkin….,”
Angin bersiul. Hari makin siang namun langit mendadak mendung. Entah apa yang membuatku mendadak sangat ingin menangis. Aku ingin meledak. Mungkin ini saatnya. Kau masih berbaring di sisiku. Mengoceh tentang banyak hal. Masa kecil, kenangan-kenangan, impian-impian. Dan kau mendadak hening saat tiba-tiba aku menyela ceritamu.
“Aku….aku nggak tau ini namanya apa. Karena nggak semua hal bisa diberi nama. Terutama karena ia terasa sangat campur aduk dan perbendaharaan katamu tak ada yang kau rasa tepat untuk mewakilinya. Tapi yang jelas, disini, ada rasa buat kamu,”
Aku menangkup tanganku di dada. Ada perih dan sesak yang naik ke kerongkongan. Namun tak kuizinkan ia naik ke mata. Kamu diam. Hanya menatapku saja. Kurasa kita berdua sebenarnya telah sama-sama mengerti. Namun ketika dibahas lagi tetap saja luka terbuka lagi.
Hening yang canggung ini seperti menyekap. Aku tak suka. Maka kemudian aku tertawa. Hanya agar kita tak lagi sunyi saja.
“Manusia adalah makhluk egois yang suka seenaknya saja. Semua dia kasih nama. Anaknya, benda abu-abu besar berbelalai, bahkan yang tak terlihat yang biasa kau gunakan untuk bernafas. Padahal belum tentu mereka mau dinamai begitu,”
“Hanya agar kita mengingat. Dan bisa berkomunikasi. Jika tidak begitu kita tak akan bisa ngobrol seperti ini,”
“………”
“Cinta itu tidak buta, sebenarnya. Jika dia masih di mata. Jika terlalu cepat turun ke hati, itulah baru ia buta. Lalu tergantung hati kita, bersihkah, atau kotor,”
“Jangan ceramahi aku,”
“Terima kasih….,”
“Aku nggak suka kamu yang kayak gini. Menyakitkan…,”
“Aku nggak peduli kamu suka atau tidak. Aku hanya ingin yang terbaik buat kamu. Buat kita,”
“Buat kamu saja. Aku tidak,”
“Terserah kau saja,”
Aku memungut ranting kayu dengan tanganku. Mengetuk-ngetuknya diatas rumput. Menarikannya di udara.
“Kalau nanti kita menikah, aku ingin kita menikah di sebuah padang rumput hijau. Dengan dua buah pohon yang dihias untuk di bawahnya kita berdiri sambil saling menggenggam tangan. Kita akan berdandan ala pasangan tahun 20an, atau 60an jika kau ingin. Dengan semua dekorasi dan pakaian tamu berwarna putih. Semuanya putih. Bangku-bangkunya putih. Balon-balon putih. Kita akan menikah sore hari dan resepsi malam hari sehingga senja akan memberi warna jingga pada gaunku dan kita akan tidur seperti ini dibawah langit yang penuh bintang,”
Kau membiarkan aku mengoceh. Aku ingin tau apa yang sedang kau fikirkan, namun kau diam saja. Mengapa kau tak bicara saja sih? Tak lagi banyak waktu kita bisa berbincang seperti ini. Aku lalu berbalik menghadapmu. mengetuk ngetukkan ranting di dahimu.
“Kenapa kau diam saja?,”
Aku bertanya. Kau hanya menatapku. Mana kacamatamu? Mukaku akan buram di matamu. Pakailah! Mana?
Mendadak kau menarikku dalam pelukan. Kau salah. Bukan begini cara mengobati lukaku setelah jatuh padamu. Kau salah. Luka ini akan semakin melebar. Namun anehnya aku tersenyum. Kulepaskan pelukanmu. Kukecup kedua pipimu, mata dan hidungmu. Mungkin sudah saatnya pergi. Aku bangkit dan berdiri. Membersihkan baju dan kulitku yang kotor karena rumput. Bersiap-siap berlalu dari tempat yang nyaman ini.
“Aku mungkin tak akan datang di pernikahanmu besok. Aku sibuk menyiapkan pernikahan kita seperti yang kuceritakan padamu tadi, di dunia paralel.”
Aku melambai kemudian benar-benar berlalu. Meninggalkan kamu yang masih termangu. Di depanmu kini langit biru. Di belakangmu rerumputan hijau. Di sampingmu tak lagi ada aku.






Bumi




Kenapa kau tak menulis tentang cinta saja?”
 

Lelaki di sebelahku itu menyeletuk tiba-tiba. Mata sipitnya berbinar ingin tahu. Mata yang ujung-ujung luarnya seakan tertarik kebawah hingga mengesankan kesenduan itu kini menatapku yang terdiam beku mendadak.
Kami duduk di sebuah sofa empuk ruang keluarga. Dipangkuanku komputer jinjing kuning menampilkan halaman dengan tulisan yang hampir selesai. Sebuah garis kecil di ujungnya berkedip-kedip menunggu digeser huruf selanjutnya.
Laki-laki itu kini menyandarkan lengan kanannya ke sandaran sofa, menaikkan sebelah kaki yang terlipat keatas, duduk menghadapku yang melirik kaku. Dia menunggu jawabanku.
“Hey, Ibu Senja sang penulis. Kutanya tadi, mengapa kau tak pernah menulis tentang cinta?”
Bumi, lelaki itu, bertanya lagi. Mengapa dia sebegitu penasarannya? Aku tersenyum menggeleng saja.
You asked me to write down the word love 
I didn’t know the first letter, nor the rest.
Kuarahkan kembali pandangan ke komputer jinjing di pangkuan. Dia kembali duduk menghadap kedepan sambil tersenyum pada diri sendiri kemudian menyesap kopi paginya. Televisi didepan kami riuh namun tak diacuhkan.
Aku disini duduk seolah sedang berkonsentrasi pada artikel tentang kenaikan BBM yang harus kuserahkan kepada mas Guna paling lambat satu jam lagi itu. Padahal sesungguhnya seluruh fikiranku memusat pada satu nama. Bumi. Laki-laki yang kini mencoba memberi perhatian pada tayangan televisi itu.
Aku memang bekerja sebagai jurnalis lepasan di sebuah harian kota. Dan deadline itu benar adanya. Namun, masalah tak pernah menulis cinta? Bumi tak sepenuhnya salah. Oke. Lebih tepatnya ia memang benar. Tak pernah sekalipun.
Kau minta aku menulis cinta 
Aku tak tahu huruf apa yang pertama dan seterusnya
Suruh aku menulis tentang isu-isu politik terkini, kata-kataku akan mengalir dengan lancar bak air bah. Tapi cinta? Bagiku cinta itu cukup dirasa saja dalam hati. Biar menjadi rahasia sendiri. Tak perlu orang sampai tahu. Bahkan menulis tentang Bumi pun aku tak bisa. Segala deskripsi tentang cinta dan adanya Bumi di dunia ini kutuliskan dalam kepala yang kemudian dengan murah hati mengantarnya ke hati. Itu saja.
I turned the entire alphabet upside down 
but grasped merely flawed words ….
Aku pernah mencoba. Menulis cinta. Tapi semalaman suntuk yang kulakukan hanya menatapi layar kosong yang berpendar menjadi satu-satunya cahaya di tata surya kamarku yang sengaja kubuat gulita. Membuat wajahku menjadi bulan penerima cahaya matahari yang membuatnya jelas terlihat dari permukaan bumi. Namun dari permukaan hatinya, Bumi-ku itu, pernah jelaskah wajahku terbawa meski hanya kealam  mimpi?
Kau sudah gila, Senja.
Kubalik-balik seluruh abjad 
Kata-kata cacat yang kudapat…..
Aku harus mulai dari mana? Jemari dan lisanku tak sanggup mengeja cinta. Yang kutulis cuma deret-deret kata yang kawin menjadi kalimat cantik yang tak ada rasanya. Rima dan susunannya terasa hambar. Tak berasa.
Don’t ask me to write down love anymore 
these letters of mine, as you know, 
do not even suffice for your name …
“Tulisanmu selalu enak dibaca. Cerkas. Kurasa jika cerita cinta lahir dari jemari dan pikiranmu itu, maka ia akan jadi karya yang begitu indah. Kenapa tak kau coba saja, Senja?”
Bumi rupanya masih merasa tak puas dengan gelengan bisuku tadi.
“Aku tak bisa, mas,” aku menunduk menjawab tanyanya. Aku tentu saja tak bohong. Memang tak bisa.
Ditandaskannya kopi di cangkir itu kemudian bangkit dari duduknya sedikit untuk menaruh cangkir yang telah kosong itu di meja lalu kembali duduk bersandar. Sekelebat angin yang dihalaunya dengan gerak sesedikit itu langsung mengirim bau tubuhnya ke penciumanku. Tanpa mampir ke otak, bau itu melesat dan menjelma zat entah yang memacu degup. Aku lagi-lagi tergugu.
“Ah. Tak mungkin. Perempuan itu paling pandai menulis cinta. Perempuan itu sumber dan penyalur cinta paling ahli. Apalagi perempuan cerdas sepertimu. Sungguh suatu saat aku ingin membacanya. Cinta dari sudut pandang seorang Senja.”
Dia tersenyum padaku lagi.
Jangan lagi minta aku menulis cinta 
Huruf-hurufku, kau tahu, bahkan tak cukup untuk namamu …
Bumi. Namamu saja cukup mendefinisikan seluruh pengertian cinta yang aku tahu. Semua perbendaharaan kosa kataku terasa tak cukup. Rasa untukmu ini terlalu kaya untuk kutuang menjadi tulisan. Jika kau ingin baca, kenapa tak baca aku saja!
Karena, jika kau ingin tahu makna cinta untukku. Cinta bagiku adalah kamu dengan segala yang ada padamu. Kau selalu hanya terfokus pada apa yang keluar dari jari jemariku, dari otakku. Tanpa kau tahu, Bumi, sesungguhnya aku tak perlu menuliskan cinta. Karena cintaku kusembunyikan pada apa yang luput dari fokusmu, hatiku.
Suara langkah kaki. Ada yang datang. Jantungku melewatkan satu degupnya. Inilah mengapa….Aku….
Because love is you, whom I cannot cite 
except in a heartbeat ….
“Sayaaaaang…makanannya sudah siaaap. Sini yuk makan siang sama-sama. Ajak Senja juga. Anak itu mesti paling susah disuruh makan.”
Bumi disebelahku menoleh dan beranjak kearah suara wanita yang memanggilnya itu sambil tersenyum.
“Yuk makan dulu,” ujarnya seraya berlalu kea rah dapur. Kujawab dengan anggukan sekenanya.
Kemudian suara itu melengking nyaring lagi.
“Senjaaaaaaaaaaaa! Ayo sini makaaaaan. Kamu tuh ya. Aku bilangin mama lho kalo kamu susah banget disuruh makan!”
Aku menghela nafas. Mengenyahkan komputer jinjing dari pangkuan. Bangkit dengan malas seraya menyahut,
“Iya, iya, Mbaaaak. Ini Senja kesanaaaa.”
Perempuan itu Anin. Kakak perempuanku satu-satunya. Kakak yang paling kusayangi. Kakak paling baik di seluruh dunia. Dan Bumi, segala definisi nyataku tentang cinta itu, adalah suaminya.
Sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut 
kecuali dengan denyut…..

kopi dan segelas kopi.





Saya berjalan menyusuri pinggiran meja kayu bundar berpelitur mengkilap. Entah sejak kapan saya memulai, saya tidak pernah tahu. Yang saya tahu, saya mencari ujung dari perjalanan saya ini. Namun manakah yang ujung? Saya merasa telah jauh berjalan namun pinggiran meja ini tak punya ujung sepertinya. Sejauh apapun langkah saya maka yang terjadi adalah saya kembali ketempat yang saya telah sangat kenal. Menoleh kebelakangpun yang saya temukan adalah jalan yang tadinya menjadi depan buat saya. Menatap kedepanpun saya hanya mengulang apa yang telah saya lalui. Saya lelah namun tak kuasa berhenti. Biar saya beritahu, ini diluar kuasa saya.
Sampai suatu hari, entah darimana asalnya, saya melihat kopi yang bergeming dalam cangkir porselen putih gading dengan aksen abu-abu dan tangkai yang anggun ditengah tengah meja yang saya kitari. Saya merasa mengenalnya. Saya senang. Itu mungkin secangkir kopi yang memang pernah saya kenal. Entah mengapa hati kecil saya memerintahkan saya mendatangi benda itu.
Langkah demi langkah kaki mungil saya yang berbalut espadrille turqouise perlahan semakin mendekat. Berbunyi tuk-tuk-tuk berirama diatas meja kayu. Ketika akhirnya sampai, saya ingin melongok kedalamnya. Kau tahu? Saya susah payah berusaha memanjatnya. Saya merasa bosan mengitari meja dan kini saya ingin berhenti! Gagasan ini membuat sebuah gelembung kesenangan memenuhi rongga dada saya. Ya! Siapa yang perduli sekarang saya memakai gaun? Saya meraih tangkai cangkir. Meraih, menjejak, menggapai. Sampai akhirnya saya tiba diatas. Duduk di pinggiran cangkir kopi yang angkuh itu.
Baru saya sadari, kopi ini sudah dingin. Ah bodohnya, tentu saja dingin, kalau tidak panasnya akan menjalar ke tangkai dan saya tak mungkin dapat memanjat kesini. Saya suka kopi, tapi bukankah kopi biasanya panas? Saya kecewa, kopi itu dingin. Bahkan terlalu dingin untuk dinikmati.
Saya melongok lagi. Bercermin pada permukaannya yang memantulkan bayangan sempurna. Mata saya bengkak dan merah. Wajah saya pucat dan terlihat lelah. Sama sekali tidak cantik. Tadinya saya berharap kopi ini akan menjadi teman yang hangat. Saya merasa sangat bodoh karena berfikir telah mengenal kopi ini. Saya kecewa dan menangis. Entah untuk apa. Tapi saya tak ingin turun dan kembali berjalan. Butir airmata saya menetes kedalam hingga menimbulkan riak melingkar dipermukaannya. Membesar, membesar, lalu hilang.
Sudah saya putuskan. Saya ingin menenggelamkan diri saja didalam kopi yang tak lagi panas ini. Meleleh, melarut dan menyatu didalamnya. Dan saya lalu melompat.
Blup-blup-blup. Bunyi terakhir yang saya dengar adalah bunyi gelembung harapan saya yang meletup letup menerobos menuju udara. Rasa terakhir yang terkecap adalah pahitnya kopi, tak ada manis lagi ternyata. Yang terakhir saya lihat adalah hitam. Hitam. Hitam.
Tubuh saya yang megap-megap akhirnya terpuruk didasar cangkir yang semakin dingin. Menunggu lenyap. Tangan saya menggapai gapai memeluk kopi. Dan ketika ujung kaki saya mulai tak berasa, saya tersenyum. Akhirnya saya meluruh.

Rindu malu-malu

 

 

 

 

“Kita bicara lewat mata tiap kali bertemu. Dan rindu yang malu-malu, kuselipkan di senyum ranum yang terkulum sendu. Malam itu ramai, namun hanya bayangmu yang tercapai oleh pupil mataku yang terbias gerimis merinai. Segelas cocktail ditanganku, segelas pula ditanganmu. Mengapa kita tak bertukar sapa saja seperti sepasang rasa yang saling mendamba?”

 

Ghege:D

Surat cinta untuk Aletha

                                                                                                                    
                                                                                                                            Bengkulu-6 maret 2014

Kepada yang terkasih, Zian.
Ini surat kesekian kali yang kualamatkan pada rumah hatimu, kerajaan kecil yang kita sebut bahagia.

Pagi ini, mendung membungkus kotaku, kota kita. Semilir angin mengoyak kegelisahan yang hampir diambang batas.
Aku yakin, kau selalu sehat disana, sayang.

Kepada gadis peramu senyum.
Hari ini aku memulai pekerjaan baruku. Tidak begitu buruk, tidak juga berlangsung mudah. Ada beberapa yang tersenyum ramah, juga tak jarang yang membuat gelisah. Tapi, semua berjalan lancar. Hanya satu hal yang membuat konsenku hilang. Barisan prajurit putih dalam mulut ini penyebabnya. Sudah beberapa hari ini merajuk. Membuatku selalu meringis. Saat sakitnya kumat, membuatku tidak percaya pada lagu dandut lawas yang mengatakan lebih baik sakit gigi. Mana ada bagusnya sakit gigi, menyiksa betul, membuat tak bisa apa-apa.

Gadisku,,,
Kali ini aku tak sempat ke kantor pos untuk membalas surat-suratmu beberapa hari lalu, jadi aku mempostingnya diblog pribadiku. Aku harus giat bekerja, untuk masa sekarangku, besok dan seterusnya. Harapku, kau bisa paham.

Kau tau, setengah bulan lalu, saat aku mengirim pesan untukmu, ada seorang karyawan kantor pos itu yang bertanya.
"Mas, masih jaman ya kirim-kiriman pesan surat sama pacar? Zaman kan sudah canggih. Ada handphone, sosial media. Masa masih make surat?". Aku hanya tertawa.

Kita ini pasangan yang aneh, kata kawan sejawatku. Disaat semua orang meraguk kasih dengan perayaan empat lengan, kita hanya memilih saling merengkuh lewat doa. Disaat semua pasangan tertawa lepas lewat jejaring sosial, saling melempar canda diTwitter, kita memilih mengirim surat berlembar-lembar dua kali sebulan. Itulah kita,, Kuno. Terlalu percaya pada cerita Rama-Shinta, Romeo-juliet, Habibie-Ainun.

Jika saja kau tau, aku selalu geram ingin mengirim pesan singkat tatkala degup rindu kian membuncah. Tapi, apalah daya, kita sudah terpaut janji.
Malam itu, dibawah bulan sepotong, kau memintaku menjanjikan sesuatu. Tentu kau masih ingat bukan?

Sayang,, aku rindu...
Rindu pada lengkung senyum, pada semburat tawa renyahmu. Pada hitam gelombang rambut, pada hijau bola mata kebanggaanmu, pada dua lengan yang selalu melegakkan, pada sepasang kaki yang berdiri kokoh membimbing. pada aroma tubuh itu.
Padamu,,,

Hari ini,, tepat sesaat saat kita bertabrakan didepan kelas. Awal masa kenalan jaman sekolah menengah pertama. Saat rambut kau masih dikepang dua, saat dandananku masih semrawutan. Kita, jelas-jelas berbeda. Kau, termasuk golongn siswi rajin, aku kebalikan. Kita berbanding terbalik.

Dan dipenghujung surat ini,, aku akan menjawab semua pertanyaan dari rasa gundahmu.

Orang-orang selalu bilang bahwa jarak adalah pembunuh berdarah dingin bagi cinta yang tidak siap. Maka telah kubangun rumah kita dengan dinding-dinding virtual. Ia berisi berbagai ruang yang bisa jadi tempat kita bertemu setiap hari. Disana, kita membangun dunia yang hanya kita yang mengerti. Pada dinding-dinding violet Yahoo messenger, ruang hangat serba putih aksen warna dasar G-talk, riuhnya ruang lini Twitter, hingga kasur-kasur empuk berwarna hijau muda yang disediakan Line. Dengan semua itu, kita lipat jarak kita yang sekian senti pada peta itu. Aku siap sayang,,, sedari dulu,,.
Kini kutanya kau. Apa kau mau membuktikan pada mereka bahwa kau mampu bertahan oleh jarak yang sementara ini, bersamaku?.
Meski itu mungkin sedikit melanggar perjanjian kita, tapi semua pasti akan terasa lebih mudah bukan?


Sayang,, aku harap kau setuju. Sungguh,, membaca pesanmu hanya dua kali dalam sebulan itu sangat berat.
Jika kau baca pesan ini, telfonlah aku segera.

Salam rindu, untuk puan.
Ghege












Lihatlah, kini matahari tak lebih adalah sekeping koin emas yang dimasukkan dalam kantong plastik berisi minuman bersoda.
Kalau Tuhan memberikan pilihan, aku akan lebih suka ditemani sosok bermata abuabu didalam cermin itu sekarang. Duduk diantara jingga dan biru kelabu yang hampir tak berbatas. Ketimbang harus menamatkan semua ini seorang diri.
Coba kau tanya laut, tak ada yang lebih kudambakan daripada kesempatan menyaksikan kelebat senyumnya saat langit akan padam. Sekali lagi.
Ghege

sepenggalan sore.





Hujan baru saja reda sore ini. Udara masih basah. Seperti rinduku yang meruah. Matahari redup, tangisnya sayup-sayup. Apakah luka berwarna jingga? Jika tidak, mengapa tiap senja perihku menganga?
Aku baru saja meletakkan gulungan wol kuning pucat kedalam kotak plastik dimana aku menyimpan bergulung-gulung warna, bergulung-gulung harapan. Setiap harinya kusulam mereka menjadi bordir-bordir indah. Sesekali mampirlah kerumahku ini, disetiap sudutnya aku menjahitkan beratus sulaman beragam warna. Kalau kau suka, akan kusulamkan satu pada sudut saputanganmu.
Ah, ya. Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Aruna. Aku senang menyulam, seperti yang sudah kubilang. Kemarilah, duduklah disini. Temani aku menyulam senja yang sepi disebelah sini. Sudah kusiapkan secangkir teh hangat untuk kita bercengkerama sore ini. Kita bisa melihat senja dari jendela kacaku yang  berembun. Sebentar, akan kubuka pintu. Sudahkah kubilang? Aku sedang menunggu.
Kekasihku itu, memiliki mata paling syahdu yang membuat tergugu. Cintaku jatuh kedalamnya saat musim gugur dua tahun yang lalu. Sekitar kami berwarna merah, oranye dan kuning daun mati. Dan rinduku saat itu adalah rindu yang tidak hati-hati. Terperangkap sudah. Tak bisa kembali. Hanya satu genggaman, senyuman dan tatapan, tak perlu suara. Cinta kami sepi, hatiku telah tercuri.
Kami mencintai satu sama lain sama seperti kami mencintai jingga pada senja. Dia melukisnya diatas kertas dengat tinta kalimat. Aku menyulamnya pada selembar kain. Cinta kami berulang setiap senja. Sebuah siklus memutar yang akan terlahir baru setiap harinya. Kami melukis harapan, menyulam impian, berjanji takkan pernah lelah menyerah. Sampai suatu hari, aku mendapati rumah ini sepi. Jinggaku hilang. Mataku nyalang. Sejak saat itu, senjaku tak lagi sama. Sampai saat ini. Tak ada jingga, senjaku berwarna abu-abu buta.
Dulu dia selalu duduk disitu. Ya, tempatmu duduk sekarang. Saat itu, aku akan bersandar di bahunya dan dia akan mengecup rambutku pelan, merengkuhku dalam hangat yang harum. Suatu ketika pernah ia berkata, “Aruna, kau itu matahari. Bola matamu adalah penebar cahayanya. Sedangkan aku adalah laut yang pasrah menerima anugerah ketika kau lelah. Kita bersatu dalam satu garis di ufuk barat dan menghasilkan jingga. Sepersekian waktu paling indah selama peralihan kepada malam yang tenang. Jingga adalah kita. Selamanya sampai tiada.”

Apakah ini yang namanya tiada? Aku menunggu disini ratusan senja namun tak pernah lagi ada jingga sejak dirinya tak ada. Harapan yang kusulam kini semakin renggang. Warnanya semakin pucat dan hampir hilang.
Oh, teh mu sudah habis? Maaf aku terlalu asyik bercerita. Kau sudah ingin pulang? Baiklah. Satu senja tanpa jingga lagi telah aku lewati. Tanpa dirinya. Terimakasih telah menemaniku sejenak waktu. Namun, sebentar. Ada yang ingin aku tanyakan. Sekarang jawablah, menurutmu, apakah warna sebuah harapan? Sewarnakah dia dengan penantian? Atau malah dengan kepedihan? Apakah warnanya jingga? Jika tidak, mengapa sekali lagi hati ini luka?

#ah iya, senja diatas hanya ada dikotaku. bumi raflesia yang mereka bilang sangat tidak menarik. 
Aruna.

Cukup kita yang tau, lain tidak.










Ada laut. Biru membentang. Lalu semburat oranye. Sebentar, debur itu. Ombak pecah dibibir kekasihnya, pantai yang selalu menanti. Di jejakku ada pasir. Begitupun telapak tangan, rambut, wajah. Ini pasir pantai. Aku sedang dipantai? Bagaimana bisa? Aku mengerjap sekali, dua kali. Sejuk yang nyaman menyapa peporiku. Aku dimana?
Aku mencoba bangkit. Membersihkan tubuhku dari pasir dengan menepuk-nepuk.  Sepertinya aku tertidur disini. Tapi sekelilingku sepi. Hanya ada pasir putih, laut dan langit yang hampir menyatu ungu. Dan ini, terusan putih selutut ini seingatku kupakai sebelum terlelap malam itu. Malam kapan? Kemarinkah? Mengapa rasanya sudah begitu lama?
Aku masih tenggelam dalam heran tanpa kepanikan saat tiba-tiba kurasakan sepasang tangan merengkuh pinggangku. Merangkulku dari belakang. Aroma ini. Tidak. Aku tak kaget. Aku tahu siapa yang kini di belakangku. Kening yang pasrah di bahuku ini. Sempat terfikir, bagaimana bisa? Tinggiku bahkan tak sampai sebahunya. Apakah dia menunduk?
Kala..“, gumamku lirih. Meletakkan lenganku diatas lengannya. Memainkan jemarinya yang panjang. Kurasakan sejuk nyaman angin di kulitku yang luput dari peluknya. Kurapatkan tubuhku, bersandar di tubuhnya. Rindu menyiksaku berbulan-bulan. Enggan aku melepas. Selagi direngkuhku, dia milikku.
Jangan menangis lagi, Lana. Jangan. Aku tak selalu ada di sisimu untuk meredakannya“, kurasakan lengannya merapat. Namun dia tak lagi tertunduk. Bibirnya kini menyentuh rambutku.
Aku tersenyum meski dia tak bisa melihatku. Pun aku tak ingin berbalik untuk menatapnya. Aku lebih suka begini. Jadi airmataku bisa bergulir diam-diam. Seperti cintaku. Diam-diam.
Tidak. Aku tak pernah menangis lagi untukmu. Rana selalu membahagiakan aku. Kemana saja kau? Kau bahkan tak peduli padaku“, aku mencoba tertawa kecil. Berharap dia mendengarnya sebagai canda.
Detik itu dia membalik tubuhku ke hadapannya. Sedikit kaget aku berusaha menghapus airmata. Mencoba tersenyum. Senyum paling tulus yang bisa kuberi. Jemarinya menahan lenganku lembut. Aku tergugu. Wajahnya masih tirus seperti dulu, matanya yang kini tanpa kacamata menatapku dengan pandangan paling sedih. Seperti menahan sesuatu yang bergolak difikiran. Atau malah hatinya? Entah.
Lana. Jangan pernah berfikir aku tak peduli. Aku bingung. Aku tak pernah tahu hati punya ruang rahasia lagi selain ruang yang penuh dengan Mala didalamnya. Dan ruang itu, Lana, disitulah kamu hidup. Aku merindukanmu lebih dari apa yang kamu tahu. Maka itu jangan menangis. Jangan. Cukup kita yang tahu.”
Aku tertunduk lagi. Mengangguk menahan air mata. Apa yang harus aku katakan lagi? Sosok tegap yang menjulang itu harus kutatap dengan mendongak. Sulit untuk tak berair mata saat ini. Aku sendiri tak bisa menahannya. Aku melepas jemarinya dari lenganku. Seketika dia merengkuhku lagi. Kali ini hingga aku terjinjit kaku dalam pelukannya. Ah, harum ini. Masih sama. Aku hanyut. Kupejam saja mataku. Pelan kucoba membalas pelukan itu. Yang aku tahu, itulah cara kami melebur perasaan menjadi satu. Hanya dengan satu peluk itu kami mampu saling merasakan apa yang tak sanggup diucap oleh bibir. Diam-diam.
***
Mataku mengerjap. Silau. Aku mencoba duduk. Menatap sekeliling. Sofa dust pink vintage dekat jendela yang tirainya melambai-lambai tertiup angin. Meja tulis dengan laptop masih menyala. Handphone tergeletak disamping bantal. Ini kamarku. Mataku masih setengah tertutup ketika beranjak ke kamar mandi dan mengingat ingat kejadian-kejadian sebelum aku terbangun yang merupakan ritual tiap pagiku.
Sepotong demi sepotong kukumpulkan ingatan. Ah, Kala. Ya. Kala muncul dalam mimpiku tadi malam. Berapa lama ya, aku tak bertemu pun mendengar kabarnya? Aku ingat tiap kata yang keluar dari bibir tipisnya dalam mimpi itu. Seperti halnya debur ombak dan sepoi angin yang terasa nyata. Sangat nyata. Aku sedang berusaha menanggalkan terusan putih selutut yang kukenakan ketika kemudian aku tersadar. Di terusan ini, yang sedang kukenakan ini. Melekat butiran pasir putih. Aku termangu. Lagi.
***
Aku termenung di ruang pertemuan ini. Kami sedang duduk membentuk lingkaran. Membahas rencana kegiatan komunitas. Aku tak begitu peduli siapa di sebelahku dan sibuk dengan ponsel ditangan. Ketika kemudian seseorang duduk disampingku. Harum itu tak asing. Dia menyenggol bahuku sengaja agar aku melihat kearahnya. Kala. Sedang tersenyum padaku. Senyum lugunya yang kali ini terasa penuh arti. Aku menatapnya setengah heran setengah takjub. Bukankah selama berbulan-bulan ini dia sangat jarang kesini lagi? Sekalipun kesini dia takkan mau bicara padaku atau menatap mataku. Lalu mengapa tiba-tiba…
Lana? Lana? Bisa tolong perhatikan sebentar?“. Good. Sekarang aku ditegur gara-gara makhluk disebelahku ini. Aku mengangguk malu dan tersenyum. Kemudian melihat ke arah Andros yang sedang merinci program kerja. Berpura-pura memperhatikan padahal sudah jelas, fikiranku mengawang lagi. Ada apa sih ini?
Kurasakan Kala mendekatkan kepalanya ke arahku. Kemudian kudengar dia berbisik memintaku melihat ke genggamannya. Aku terkejut dalam diam. Pasir putih. Persis seperti dalam mimpi dan….yang menempel di terusanku tadi pagi. Kutatap dia heran dengan tatapan minta penjelasan. Tak berani bersuara.
Dia hanya tersenyum. Kali ini senyum yang sendu. Kurasakan jemarinya mencari letak jemariku, mendapatkannya, lalu menggenggamnya. Kini aku paham. Paham betul. Kubalas tatapannya dengan senyum tulus. Membalas genggamannya yang tak terlihat sekitar. Cuma kami yang paham. Cuma kami yang mengerti. Lain tidak.

Paragraf keempat dalam sebuah catatan.





Berkali kali dia melarangku kesana. dengan gaya seperti ayah melarang anak perempuan. padahal aku begitu ingin kesana, melihat dari dekat apa yang terlihat sebagai pohon keringkerontang dari jauh. aku yakin sebenarnya dia masih sering kesana dan menyiraminya. walau sedikit. jika memang tidak, mengapa dia melarangku kesana? aku cuma bisa menentangnya dengan menghunjam dalamdalam tatapan mataku kedalam matanya. lalu kupalingkan dengan mulutku tetap terkunci. ketika tangannya membelai rambutku aku menepisnya perlahan. tak tahukah dia betapa aku ingin sekali kesana, mengetahui apa yang mungkin tersimpan dibawah akarnya. didalamnya. sungguh mati, aku ingin. dalam diam aku melawan.
berkali kali dia melarangku kesana. dia bilang hanya kesedihanlah yang akan kutemukan disana. kali ini aku curiga dia menyimpan sesuatu, mengubur rahasia dibawahnya. aku ingat dulu pernah bertanya, apa dia pernah kesana lagi. dia jawab, “ya, sesekali. dia memanggilku”. dia bilang pohon kering itu memanggilnya. maka kulanggar, tak kupatuhi lagi larangannya. kali ini tidak lagi.
aku tiba disana dengan nafas tersengal. perlahan kugali tanah dibawah akarnya. kukais kais. satu persatu aku temukan jarinya, air matanya, senyumnya. kutebak inilah mengapa aku tak boleh kesini. aku menemukan yang disembunyikannya. aku menemukannya.
aku temukan satu kotak. isinya adalah catatan. satu catatan yang paling kusuka bercerita tentang hal rumit yang anehnya begitu kupahami artinya. aku mengerti mengapa dia masih datang kesini dan bahkan pohon ini masih setia menyimpan semua potongan potongan dirinya dan catatan catatan usang bermakna dalam. sungguh, aku mengerti.
maka kubiarkan kau kesini terus. biarlah kau tak tahu aku pernah kesini. kukubur rapi lagi semuanya dan melangkah pelan sambil memikirkan kemungkinan menjadi teman pohon malang itu. hm. .

kau tahu? nanti jika aku sampai, aku ingin bercerita padanya bahwa aku paling suka paragraf ke empat dari catatan itu. suka sekali.
suka sekali.

Layang hati









Sore itu kau memboncengku naik sepeda ke padang ilalang yang berjarak satu kilometer dari rumah. Rambutmu, rok motif bungaku, dan kebahagiaan kita berkejaran dengan liukan angin. Kupeluk erat gulungan benang dan dua buah benda ringan yang akan kita terbangkan.
Kita akan bermain layang-layang.
Sesampai di lapangan, kau menarikku jauh ke tengah. Kita tinggalkan sepeda di belakang.
“Dunia ini kepunyaanku! Kamu jadi tamu kemudian ratu!”
Teriakmu membuat kupu-kupu di perutku beterbangan. Denyar jantungku mengeja cinta. Matamu memerangkapnya. Langit memutar diri. Angin menari.
Lalu hati kita kita biarkan terbang, dengan tali kita yang pegang. Kita main layang-layang.
Angin pertama ramah dan baik hati. Membawa layang hati kita membumbung tinggi. Berjumpa pelangi.
“Lebih tinggi lagi! Lebih tinggi!”
Angin paling ceria lalu mengajak layang hati menari. Di bawah kita turut menggoyang tangan kaki. Berganti kanan dan kiri.
“Menari! Menari! Kita akan terus seperti ini!”
Ilalang bergemerisik. Kurasa sepoi menggelitik. Di atas, matahari masih barang antik. Cantik.
Lalu kemudian benang layang kau tarik. Hatiku menari sendirian. Mencari-cari. Kau ulur lagi. Ganti aku menggulung lari layangku.
“Rasakan itu rindu!”
Kau lagi menarik. Aku mengulur. Kau tak lagi tertarik. Aku terpekur.
Kuulur. Kuulur. Kuulur.
Layang hatiku mulai terbang ngawur.
Kuulur. Kuulur. Kuulur. Hingga tak ada lagi benang yang kupunya. Kaleng gulungan berkelontangan disambut tanah gersang ilalang. Hatiku terbang hilang melayang.
Aku terduduk gamang meraba dada yang berlubang. Hatiku hilang!
Kau menggulung benang menjadi gelang. Meninggalkan aku sendiri kala petang menjelang di padang ilalang.
Bahkan matahari tak mau tinggal untuk menghibur. Angin baik digantikan angin dingin yang dengan jumawa berlari keluar masuk lubang di dada. Aku mau pulang.

Sayang, seharusnya kutinggalkan dulu hatiku di rumah sebelum kau ajak main layang-layang.